Nature vs Nurture

Isu ini melibatkan perdebatan tentang faktor nature atau nurture yang lebih mempengaruhi intelegensi seorang anak. Nature adalah faktor yang mempengaruhi intelegensi anak dari sisi warisan biologis atau genetika. Para pendukung “nature” yakin bahwa intelegensi itu diwariskan dan bahwa pengalaman lingkungan hanya memainkan peran kecil dalam manifestasinya (Detterman, 2009; Herrnstein & Murray, 1994; Jensen, 1969 dalam Santrock, 2009). Berbeda dengan nurture, yang yang justru berpendapat bahwa pengalaman lingkungan yang memberi kontribusi lebih dalam perkembangan intelegensi anak. Seperti yang diungkapkan oleh sebagian ahli besar, bahwa lingkungan memainkan peran penting dalam intelegensi (Campbell, 2006; Comer, 2006; Stenberg& Grigorenko, & Kidd 2004 dalam Santrock, 2009).

Etnisitas Dan Budaya
 
Perbedaan tempat tinggal, sosioekonomi dan pengasuhan juga mempengaruhi intelegensi. Seperti yang terjadi di Amerika Serikat: hasil tes Intelegensi pada anak Afrika-Amerika dan Amerika Latin mendapatkan skor 10-15 skor yang lebih rendah bila dibandingkan dengan anak kulit putih. Selain itu juga karena distribusi skor tes tersebut saling tumpang tindih. Namun, pada tingkat perguruan tinggi, mayoritas anak Afrika-Amerika mendapatkan lingkungan belajar yang mirip dengan anak kulit putih. Selain itu, ketika anak-anak Afrika-Amerika miskin diadopsi oleh keluarga yang berstatus ekonomi menengah ke atas, menjadikan skor intelegensi anak-anak Afrika-Amerika menyerupai rata-rata nasional. Hal ini, jelas terlihat bahwa adanya pola asuh yang dibedakan oleh etnisitas dan adanya perbedaan budaya berpengaruh pada intelegensi anak.

Bias Budaya

Tes yang ada, seringkali mendiskriminasi etnis atau kalangan tertentu. Seperti: Soal tes “Jika di jalanan ada anak umur 3 tahun yang hilang, maka apa yang akan kamu lakukan?” jawaban yang benar adalah menelepon polisi. Namun, pada anak-anak dari keluarga kota yang miskin belum tentu menjawab dengan jawaban serupa. Apabila mereka memiliki pengalaman yang buruk dengan polisi di lingkungan sekitar. Sehingga tes intelegensi terus berusaha untuk mengurangi adanya bias dalam aitem yang ada dalam tes intelegensi.
Ancaman stereotip, salah satu dari ancaman bahwa perilaku seseorang mungkin menegaskan adanya stereotip tentang kelompok  seseorang tersebut (Max & Stapel, 2006; Steele & Aronson, 2004 dalam Santrock, 2009). Seperti sebuah contoh, ketika anak-anak Afrika-Amerika diminta untuk mengerjakan soal tes intelegensi. Hasil tes mereka akan baik ketika mereka tidak diberitahu bahwa tes tersebut hanya untuk sampel suatu tes yang belum tentu valid, namun ketika mereka diberitahu bahwa tes tersebut dilakukan untuk tujuan evaluasi maka nilai mereka akan jelek. Berbeda dengan anak kulit putih yang mendapat nilai baik dalam dua kondisi tersebut.

Tes Culture Fair

Tes yang berfungsi untuk menghindari adanya bias budaya. Tes ini memiliki dua jenis, yakni: (1) tes dengan pertanyaan-pertanyaan yang dikenal oleh semua orang dari latar belakang etnis dan budaya yang berbeda, (2) tidak memiliki memiliki pertanyaan verbal. Sebagai contoh: Tes RPM. Meski pada kenyataannya tes ini masih menghasilkan nilai yang cukup tinggi pada orang yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi.

            Beberapa tes cenderung tetap mengalami bias, meskipun sudah diusahakan untuk memperkecil adanya bias budaya pada alat tes tersebut. Seperti adanya perbedaan terhadap pemaknaan waktu, gambar, dan sebagainya. Kemudian kelompok-kelompok yang tidak mempunyai pengalaman yang banyak, juga akan berbeda ketika menjawab pertanyaan tentang jalan kereta api, perapian, cerobong asap di sebuah rumah, dan sebagainya.


Pengelompokan Kemampuan Antar Kelas

Program tanpa kelas (lintas usia), dimana siswa dikelompokkan menurut kemampuan mereka terhadap mata pelajaran tertentu tidak memperhatikan usia atau tingkat kelas mereka. Misalnya, Si A ada di kelas 1 namun kemampuan bahasanya berada di kelas 5, maka si A akan mengikuti kelas bahasa bersama dengan anak-anak yang memiliki kemampuan  bahasa yang sama.

Pengelompokan Kemampuan dalam Kelas   

Yakni melibatkan penempatan para siswa di dalam dua atau tiga kelompok pada satu kelas yang mempertimbangkan perbedaan-perbedaan kemampuan siswa, namun tetap berada di dalam satu kelas. Sebagai contoh, guru sekolah dasar biasanya mengelompokkan siswanya pada beberapa kelompok sesuai dengan kemampuan membaca yang merek miliki.

Namun, pada hal ini para pengkritik berargumen bahwa pembagian atau pengelompokkan akan memberikan stigma untuk siswa yang diasingkan di jalur rendah. Tetapi juga ada yang mendukung dengan adanya pembagian seperti ini, yakni untuk member kesempatan pada siswa di jalur rendah untuk dapat meningkatkan prestasinya dengan lebih optimal.

                                (Santrock, John W. (2009). Psikologi Pendidikan Edisi 3. Jakarta: Salemba Humanika)