Siapa yang tidak mengenal nama Dahlan Iskan, mantan CEO Jawa Pos dan Direktur Utama PLN yang kini menjadi Menteri BUMN Kabinet Indonesia Bersatu II. Namun siapa sangka, Dahlan dibesarkan dalam lingkungan pedesaan yang serba kekurangan. Dahlan memulai kariernya di dunia surat kabar, mulai dari calon wartawan surat kabar kecil di Samarinda, wartawan majalah Tempo (1976), dan menjadi pimpinan surat kabar Jawa Pos. Selama 5 tahun menjabat, Dahlan Iskan berhasil meningkatkan oplah menjadi 300.000 yang semula oplah 6.000 eksemplar.
    Prestasi Dahlan tidak berhenti di dunia surat kabar, pada akhir 2009 Dahlan diangkat sebagai Direktur Utama PLN. Banyak hal menarik yang dilakukan oleh Dahlan semasa menjabat. Seperti program bebas bayar pet se-Indonesia dalam waktu 6 Bulan Gerakan Sehari Sejuta Sambungan. Selain itu, juga berhasil dibangun 5 PLTS di pulau bagian timur Indonesia, dan pada 2011 Dahlan berencana untuk membangun PLTS di 100 pulau.
    Sejak terjun di PLN, Dahlan merasa memiliki ketertarikan yang luar biasa pada instansi yang dulu sempat ia benci. Namun, setelah Dahlan merasa berhasil menemukan model transformasi korporasi yang sangat besar sehingga faktanya PLN dapat berubah menjadi begitu dinamis. Terlebih Dahlan mulai memahami knowledge yang dimiliki oleh orang PLN. Hal ini tergambar menjadi 5 faktor utama menurut Dahlan. Yakni, (1) Mayoritas orang PLN adalah orang yang otaknya encer sehingga problem-problem sulit cepat dipecahkan, sejak dari konsep, roadmap sampai aplikasi teknis. (2) Latar belakang pendidikan orang PLN umumnya berbasis teknologi sehingga sudah terbiasa untuk berpikir logis. (3) Gelombang internal yang menghendaki agar PLN menjadi perusahaan yang baik/maju ternyata sangat besar. (4) Intervensi dari luar yang biasanya merusak sangat minimal. (5) Iklim yang diciptakan oleh Menneg BUMN Bapak Mustafa Abubakar sangat kondusif yang memungkinkan lahirnya inisiatif-inisiatif besar dari korporasi. “Dengan modal lima hal itu pula komitmen apa pun untuk menyelesaikan persoalan rakyat di bidang kelistrikan bisa cepat terwujud. Itulah sebabnya saya berani membayangkan, akhir tahun 2012 adalah saat yang sangat mengesankan bagi PLN.” ungkap Dahlan. Hal ini menunjukkan keoptimisan bahwa Dahlan optimis dapat meningkatkan pelayanan dengan modal 5 faktor tadi.
    Dahlan dan sesama direksi bersepakat untuk membentuk kekuatan internal PLN, agar sewaktu-waktu saat adanya pergantian pimpinan PLN tetap mengalami kestabilan. Sesuai dengan apa yang dikatakan Blacker (1995) bahwa cakupan dan perwujudan knowledge ada pada individu, dan kultur knowledge adalah milik bersama. Dahlan terus berusaha menguatkan budaya telah dibentuk oleh pimpinan PLN sebelumnya ke arah yang lebih baik. Kultur yang ada di PLN mengarah pada eksplisit knowledge, yakni ditunjukkan oleh faktor ke lima bahwa iklim yang diciptakan oleh Menneg BUMN Bapak Mustafa Abubakar sangat kondusif yang memungkinkan lahirnya inisiatif-inisiatif besar dari korporasi.
    Keterbukaan Dahlan dengan tim direksi dan internal PLN membuatnya merasa benar-benar satu-hati, satu-rasa, dan satu-tekad. Ini sudah dibuktikan ketika PLN menerima tekanan intervensi yang luar biasa besar, direksi sangat kompak menepisnya. Dahlan mengaku menjadi lebih bergairah untuk bekerja dan keinginannya untuk menjadi orang bebas tidak boleh sampai menyulitkan masa depan PLN. Maka, untuk memotivasi kinerjanya dan pihak PLN Dahlan merubah motto lama “listrik untuk kehidupan yang lebih baik”, menjadi motto untuk sementara waktu yang berbunyi “Kerja! Kerja! Kerja!”. Motto ini, bukan hanya untuk menepis keinginan pribadi Dahlan namun juga sebagai motivasi bagi seluruh pihak PLN untuk terus memperbaiki pelayanan dan mewujudkan target yang telah direncanakan.
    Dahlan melihat dan merasakan bahwa adanya gairah pada seluruh jajaran PLN untuk bekerja keras memperbaiki diri. Mereka juga membangun kultur saling percaya, bermula dari adanya beberapa unit masih bekerja dengan data seadanya, data yang tidak valid, data yang sengaja direkayasa. Kalau data direkayasa, otomatis tidak akan mendapat data yang benar. Kemudian tidak akan pernah tahu dimana letak kelemahan dan bagaimana memperbaikinya. PLN menggunakan strategi manajemen knowledge codification strategy, karena memperhatikan kodifikasi dan penyimpanan dalam database yang mudah diakses dan digunakan serta terus diperbaiki agar tidak ada rekayasa di dalamnya. Selanjutnya, membangun integritas diri, contoh perbincangan direksi dengan petugas pelayanan teknik yang masih mau menerima tip dari pelanggan. Hal seperti itu harus dihindari dalam kultur PLN. Ketiga, membangun kualitas dalam mewujudkan budaya trust. Budaya kualitas dibangun melalui proses pemilihan material dan peralatan berkualitas pada layanan PLN, karena jangan sampai harga emas namun mendapat kualitas perak. Maka, budaya dibangun mengantisipasi ketika Indonesia diprediksi menjadi kekuatan ekonomi ke 6 di dunia tahun 2030 dan untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat.

 Surabaya. 7 Mei 2012
Mata Kuliah Pengembangan Manusia Dalam Organisasi