Indonesia sebagai negara yang memiliki potensi bencana alam cukup tinggi disebabkan oleh letak geografis. Indonesia terletak di pertemuan tiga lempeng tektonik yang aktif sehingga memiliki intensitas kegempaan paling aktif di dunia. Kurang lebih 75% The Ring of Fire yang melintasi wilayah Indonesia (Tomascik dkk, 1997). Indonesia menjadi negara yang kerap dilanda bencana alam, seperti gempa, gunung meletus hingga tsunami dan berbagai macam bencana alam lainnya. Sebagai Negara berkembang, Indonesia memiliki penduduk cukup banyak yang tinggal di wilayah pertemuan lempeng ini, tidak jarang bencana alam mengalami kerugian yang cukup besar mulai dari harta benda hingga jiwa manusia sendiri.

Anak-anak sebagai salah satu dari korban bencana alam, tentu memperolah dampak yang berpengaruh pada kesehatan fisik dan mental, seperti trauma atau yang terjadi hingga pasca bencana disebut dengan PTSD (Posttraumatic Stress Disorder). PTSD dapat diartikan sebagai sindrom kecemasan, labilitas autonomic, ketidakrentanan emosional, dan kilas balik dari pengalaman yang amat pedih itu setelah stress fisik maupun emosi yang melampaui batas ketahanan orang biasa (Kaplan, 1998). PTSD mencakup bagian dari asumsi etiologinya, yakni bahwa suatu kejadian atau beberapa kejadian traumatis yang dialami atau disaksikan langsung oleh seseorang berupa kematian atau ancaman kematian, atau cedera serius, atau bisa juga ancaman terhadap integritas fisik atau diri seseorang.

Menurut Kaplan & Sadock, ada tiga tipe gejala yang sering terjadi pada PTSD, yaitu (1) Pengulangan pengalaman trauma, (2) Penghindaran dan emosional yang dangkal, dan (3) Sensifitas yang meningkat. Permasalahan tersebut tentu akan manjadi semakin berat jika dialami anak-anak. Terlebih bagi anak-anak yang memiliki tingkat kerentanan emosional yang lebih tinggi. Selain itu, mereka cenderung akan sulit mengungkapkan apa yang mereka rasakan. Dalam hal ini, penderita PSTD dapat bertindak dengan cara yang tidak terduga. Mereka mungkin bisa berperilaku tidak sesuai dengan apa yang ada pada kepribadian mereka sebelumnya. Seperti yang ada dalam kasus ini, anak-anak di lereng Merapi ada yang berubah menjadi takut melihat kbaut dan petir, pendiam dan tidak bisa menangis (20/06). PTSD akan berefek kepada anak-anak jika tidak ditangani, yakni: (1) Jika anak-anak tidak mendapat dukungan keluarga atau sosial, anak akan mengalami kesulitasn mengatasi apa yang dialaminya, (2) Muncul perilaku maladaptive, (3) Dapat meningkatkan resiko gangguan serangan panic, agoraphobia, gangguan obsesif kompulsif, gangguan sosial dan gangguan somatisasi (Cohen, 2006).

Trauma yang dialami anak, tentu akan berdampak pada perkembangan sosial anak terhadap orang lain yang ditunjukkan dengan adanya perubahan sikap yang sangat signifikan terjadi. Misalnya, si anak menjadi pribadi yang pendiam, tidak bisa menangis atau tidak mau bersosialisasi dengan orang lain. Hal tersebut jika tidak segera ditangani akan memunculkan perilaku-perilaku maladaptif lain yang kian hari bisa semakin parah. Maka, adanya penanganan yang tepat untuk menangani gangguan yang terjadi pada anak-anak ini menjadi sangat penting. Agar anak-anak yang menjadi korban bencana dapat menjalani kehidupan mereka dengan lebih baik. Selain itu karena potensi anak-anak sangat berpengaruh pada kemajuan dan kesejahteraan bangsa di masa depan.

Aplikasi dari penanganan gangguan traumatik, seperti PTSD (Posttraumatic Stress Disorder) yang terjadi pada anak-anak sangat memungkinkan dilakukan oleh para mahasiswa Program Studi Psikologi sebagai kontribusi nyata dari bidang keilmuan yang didapatkannya di bangku perkuliahan. Karena mahasiswa diyakini sebagai tonggak perubahan bangsa. Sayangnya, mahasiswa tidak sepenuhnya mengerti pada harapan besar yang dimiliki oleh rakyat, bangsa dan Negara. Sehingga waktu mahasiswa lebih terforsir di bangku kuliah saja. Menikmati perkuliahan dengan kurikulum yang lebih menekankan pada hardskill dan tidak jarang melalaikan fungsi softskill. Hal ini berakibat ketika mahasiswa telah lulus dari bangku perkuliahan, para mahasiswa cenderung mengalami masalah pada kemampuan softskill, seperti sulit beradapatasi atau mengaplikasikan bidang keilmuannya di masyarakat. Maka, membentuk himpunan atau komunitas kerelawanan mahasiswa psikologi sebagai upaya tanggap bencana dan kepedulian pada anak-anak korban bencana adalah sebuah solusi yang tepat.

Dapat kita amati bahwa kurikulum perguruan tinggi yang hanya mengedepankan pada kemampuan hardskill kemudian dilengkapi dengan serangkain program untuk kecakapan softskill, yakni program KKN (Kuliah Kerja Nyata). Namun lagi-lagi program yang sudah dikonsep sedemikian rupa ini juga mengalami kegagalan. Dimana mayoritas dari mahasisea hanya menjadikan program KKN sebagai formalitas atau pemenuhan penugasan kampus saja. Mahasiswa kurang memahami bahwa sebenarnya tanggungjawab, seperti dalam program KKN itulah yang nantinya harus mereka emban selepas dari bangku kuliah nanti.

Dalam aplikasi kegiatan di dunia kampus pun sangat jarang ditemukan organisasi maupun sebuah komunitas yang memiliki sasaran langsung pada masyarakat. Seperti kegiatan pengabdian masyarakat atau pelatihan aktivis relawan tanggap bencana dan sebagainya. Di dunia kampus, mahasiswa cenderung mengikuti kegiatan atau organisasi di bidang yang sekiranya membuat mereka fun sebagai hiburan atas padatnya rutinitas akademik di keseharian mereka.

Agar proses aplikasi bidang keilmuan mahasiswa Psikologi di Indonesia senantiasa berfungsi dengan baik, maka perlu adanya wadah yang mampu menanamkan pemahaman bahwasanya mahasiswa memiliki peran yang sangat penting bagi kemajuan dan stabilitas negara. Maka, di lingkungan kampus perlu dibentuk komunitas yang menaungi dan menfasilitasi mahasiswa untuk dapat terjun langsung di masyarakat. Konsep ini dikenal sebagai sebuah komunitas mahasiswa aktivis kerelawanan. Berdasarkan tugas perguruan tinggi yang diungkapkan Moh. Hatta bahwa membentuk manusisa susila dan demokrat yang memiliki keinsafan tanggung jawab atas kesejahteraan masyarakat, cakap dan mandiri dalam memelihara dan memajukan ilmu pengetahuan dan cakap memangku jabatan atau pekerjaan di masyarakat.
Atas dasar tiga prinsip Moh. Hatta, maka dirancanglah sebuah konsep komunitas mahasiswa aktivis kerelawanan di Indonesia. Konsep pembentukan komunitas ini berdasarkan pada dibutuhkannya peran saling menguntungkan yang harus dibangun oleh sesama elemen bangsa dalam mengatasi berbagai macam potensi bencana alam yang bisa sewaktu-waktu terjadi di Indonesia. Selain itu sebagai bentuk kontribusi mahasiswa dalam mengaplikasikan bidang keilmuannya di masyarakat dengan inovasi dan kreativitas yang relevan untuk diterapkan di lingkungan masyarakat (desa) sasaran.
Pembentukan komunitas ini juga didasarkan pada bentuk kontribusi mahasiswa psikologi pada masyarakat luas maupun diri mahasiswa sendiri terhadap negaranya. Selain itu, untuk mengembangkan dan melatih kemampuan mahasiswa saat terjun langsung ke lapangan. Pasalnya, relawan pada bencana-bencana alam di Indonesia biasanya dilatih untuk menjadi relawan di daerah bencana tersebut ketika bencana telah terjadi. Sehingga kesiapan yang dimiliki oleh mahasiswa cenderung sangat kurang. Maka, bentuk komunitas ini memiliki berbagai macam program kegiatan yang bekerjasama dengan psikolog atau pelatih yang sudah profesional dalam naungan HIMPSI. Berbagai kegiatan yang dilaksanakan adalah program pembekalan untuk menangani atau pemberian terapi pada anak-anak yang mengalami trauma pasca bencana. Seperti, bagaimana cara bermain pada anak-anak, bercerita, melakukan trauma healing, art therapy dan lain-lain. Namun, kita sadari bahwa kompetensi mahasiswa belum bisa menyamai seorang psikolog. Maka pada kasus yang mengalami tingkat gangguan lebih tinggi harus kita mintakan penanganannya oleh psikolog.

Mahasiswa Psikologi terutama di Fakultas Psikologi Unair dan sekitarnya mampu menjadi mahasiswa yang tidak hanya terfokus pada akademiknya saja. Namun, juga berkontribusi secara langsung bagi negara dengan turut serta memberikan penanganan pada korban bencana alam di Indonesia, khususnya pada anak-anak (penerus bangsa). Konsep kerelawanan dengan memanfaatkan peran dan fungsi mahasiswa ini sebagai tonggak perubahan bangsa menuju Visi Indonesia 2030.